ahun depannya, Bocil WW sudah lebih besar, sudah lebih bertekad agar puasa hari pertama lebih sukses dari tahun lalu. Tetapi, manusia bocil cuma bisa merencanakan, Sang Pemilik Segala yang menentukan.
Untuk lebih memahami konteks peristiwa, saya gambarkan dulu lingkungan Bocil WW berada. Rumahnya berada di desa, di tepi jalan menanjak sebuah bukit rendah, yang diberi nama Indrakila (itu fantasi nenek moyang yang kasih nama luar biasa, mitosnya Arjuna bertapa di situ, diapit pohon serut). Ada 2 sungai yang mengalir di tepian bukit itu: kali Suki yang bermuara ke sungai kedua, kali Ketro). Ada satu lagi, sebuah saluran besar (wangan) yang berasal dari dam Kori.
Saya gambarkan lebih rinci wangan ini. Sebagai saluran besar untuk persawahan yang elevasinya lebih tinggi dari kali Ketro, saluran ini melalui kaki bukit di utara sungai Ketro. Nah, di bagian wangan di lokasi itu terdapat “air terjun mini”, sekitar 2 meter. Air terjun mini yang jernih, dengan debit yang cukup besar, menjadi tempat ideal bocil-bocil bermain. Terutama bocil laki-laki. Kesukaan mereka, duduk di bawah air terjun mini, lalu menengadahkan badannya ke atas, sehingga air terjun itu menerpa tubuhnya (baca: kelaminnya). Sejuta rasa. Nah… sekarang saya yakin jamaah FB bisa membayangkan pentingnya air terjun ini di semesta pikiran dan perbuatan bocil-bocil laki-laki, termasuk saya.
Tentu saja, ada fungsi lain terutama saat puasa: main air. Bisa untuk ngadem, dan “tidak sengaja” seteguk dua teguk masuk ke kerongkongan. Karena ada dalih tidak sengaja, maka dalam pikiran kolektif para bocil, hal itu tidak membatalkan puasa.
Di situlah tujuan puasa hari pertama Bocil WW dan teman-temannya. Kami berangkat pagi hari, sekira pukul 7.30. Fyi, waktu itu saya paling kecil di rombongan itu. Yang lain lebih besar: kakak, paman 1, paman 2, dan teman-teman, sekitar 6 orang.
Kami mulai berangkat. Sekitar 200 m dari rumah, perjalanan melintasi tepi kebun pak Ichsan, bapak saya. Di tepi kebun itu ada pohon Johar. Bagi yang belum tahu, pohon ini tidak dimanfaatkan buahnya, tapi daunnya. Daunnya cepat merimbun, dari ranting muncul tangkai-tangkai daun, dan tiap tangkai daun berisi sekitar selusin daun. Daun ini dimanfaatkan untuk pakan ternak dan pupuk alam di sawah. Oleh karena itu, wajar jika di tepi kebun orang menanam pohon Johar. Pohon Johar keras tapi getas. Rantingnyq mudah patah. Pagi itu, para senior rombongan memutuskan untuk menggunakan daun johar sebagai “atap kemping” di tepi wangan (mudah diambil dengan mematahkan rantingnya, daunnya rimbun, jadi keputusan yang pas).
Salah seorang senior memanjat pohon Johar itu, seingatku kakak saya. Eeee…. lha kok Bocil WW ikut-ikutan memanjat. Baru sekitar 2 m (mungkin kurang), saya meraih satu ranting dengan kedua tangan, lalu dengan hanya mengandalkan satu ranting itu, saya angkat kaki ke tumpuan atasnya. Dan rantingpun patah, saat saya tengadah, dalam gerakan lambat di benak saya, Bocil WW terjatuh, dengan kepala lebih dulu, menumbuk tanah berbatu. Brugh. ..
Tiba-tiba banyak bintang bermunculan, dan lamat-lamat terdengar para senior memanggil-manggil namaku. Saya kemudian dibopong pulang, dengan darah berceceran dari luka di kepala.
Sampai di rumah, ibu menjerit-jerit, ngamuk ke kakak dan para senior. Mereka saling berbantahan (karna memang itu murni salah saya, tapi dari perspektif ibu, kenapa para senior tidak mencegah peristiwa itu) dan saya dibiarkan. Hahahaha.
Nggak juga. Tidak berapa lama, ibu mengambil minyak tanah, dan bocil WW diberi keramas minyak tanah. Maksudnya, agar bagian yang luka dapat terguyur minyak tanah, densifektan terbaik yang ada di pedesaan di masa lalu (begitu konversi mitan ke LPG, saya nggak tahu lagi apa yang digunakan orang desa jika terluka. Mungkin kembalinya jaman purba: dengan ludah).
Dengan keluarnya (banyak) darah dari tubuh, maka sesuai keyakinan, batal pula puasa saya. Bocil WW segera mengambil seiring nasi dan sayur sisa sahur, dan berbuka, pada pukul 08.00. Sungguh karir puasa hari pertama yang singkat, lebih singkat dari tahun lalu.
End of the day.